1tulah.com– Lingkungan politik dan sosial-budaya Indonesia tampaknya tidak terlalu kondusif bagi ekspresi intelektual publik. Tetapi, masih ada ruang bagi intelektual publik untuk menunaikan tanggung jawab moral mereka. Maka perlu niat, tekad, dan kesediaan berkorban untuk tujuan yang mulia.
Hal itu dinyatakan cendekiawan Prof. Azyumardi Azra, CBE dalam Webinar di Jakarta, Kamis (24/2/2022), yang diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia, SATUPENA. Pemandu diskusi adalah Elza Peldi Taher dan Amelia Fitriani.
Azyumardi mengungkapkan, ada kalangan intelektual yang setelah berjuang “dari luar” kekuasaan, merasa kehilangan kesabaran. Mereka lalu terjun ke politik dan berusaha memperbaiki keadaan “dari dalam.” Tetapi, mereka lalu mengalami kekecewaan.
“Ketika sampai pada politik kekuasaan, hanya ada dua pilihan bagi intelektual publik,“ tegas Azyumardi.
Pertama, mengorbankan idealisme moral-politik, dan berkompromi dengan realitas dan proses politik yang ada. Kedua, kembali ke dunia intelektualisme publik, sebelum integritas mereka betul-betul hancur.
Menurut Azyumardi, pilihan pertama sangat pahit. Pilihan kedua mungkin tak begitu pahit. Pilihan kedua juga lebih sesuai dengan kerangka etis dan moral kaum intelektual publik.
“Tetapi, tidak jarang ketika mereka kembali, the damaged has been done. Citra personal mereka sedikit banyak telah terganggu. Memulihkan citra ini juga bukan sesuatu yang mudah. Inilah dilema intelektual publik,” tegas Azyumardi.
Azyumardi mengakui, dunia intelektualisme berbeda dengan dunia politik. Khususnya di Indonesia, yang masih belum menemukan bentuk dan proses yang mapan. Pada tingkat rakyat, idealisme kaum intelektual publik juga cenderung sulit dipahami, terlalu abstrak dan teoritis.Juga tidak memberikan insentif ekonomis yang mereka harapkan.