1TULAH.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah menyelidiki dugaan adanya praktik pembayaran dari sejumlah agen perjalanan atau Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) agar calon jamaah mereka bisa berangkat tanpa harus menunggu antrean panjang.
Dalam proses penyelidikan tersebut, KPK telah memeriksa dua saksi, yakni mantan Bendahara Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), M. Tauhid Hamdi, serta seorang karyawan swasta bernama M. Iqbal Muhajir.
Pemeriksaan terhadap kedua saksi dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Selasa, 7 Oktober 2025.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa pemeriksaan berfokus pada pengisian kuota tambahan atau skema T-nol (tanpa antrean) serta dugaan adanya aliran dana berupa fee percepatan.
Ia belum menjelaskan secara rinci jumlah uang yang terlibat dalam kasus ini, tetapi memastikan bahwa sejumlah penyelenggara haji khusus dari berbagai asosiasi telah mengembalikan sebagian dana ke rekening penampungan. Nilai dana yang dikembalikan tersebut masih dalam proses penghitungan oleh tim penyidik.
Usai diperiksa, M. Tauhid Hamdi enggan memberikan banyak komentar terkait dugaan penyerahan dana yang disebut-sebut dilakukan untuk mempercepat keberangkatan jamaah.
Ia hanya mengungkapkan bahwa penyidik menanyakan pertemuannya dengan mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, baik sebelum maupun sesudah diterbitkannya Keputusan Menteri Agama (KMA) tentang pembagian kuota haji.
Tauhid juga membantah memiliki peran dalam pembagian kuota tambahan dan menegaskan bahwa seluruh keputusan berada di bawah kewenangan penuh Kementerian Agama.
Ia menyatakan bahwa pertemuannya dengan Yaqut hanya bersifat silaturahmi dan tidak berkaitan dengan urusan pembagian kuota.
KPK hingga kini masih mendalami dugaan korupsi dalam pengelolaan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023–2024 di lingkungan Kementerian Agama.
Meski belum menetapkan tersangka, penyidikan dilakukan berdasarkan surat perintah penyidikan umum dengan dasar Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021, juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Berdasarkan hasil perhitungan sementara, potensi kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 triliun dan masih dapat bertambah seiring proses audit yang dilakukan bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kasus ini bermula dari tambahan kuota haji sebanyak 20.000 orang yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia dengan tujuan memperpendek masa tunggu jamaah.
Namun, pembagian kuota tersebut justru menimbulkan persoalan karena dilakukan secara merata, yakni 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Agama yang ditandatangani oleh Yaqut Cholil Qoumas.
Padahal, ketentuan perundang-undangan mengatur bahwa proporsi pembagian kuota seharusnya adalah 92 persen untuk haji reguler dan hanya 8 persen untuk haji khusus.
Ketidaksesuaian proporsi tersebut diduga dipicu oleh adanya aliran dana dari sejumlah pihak penyelenggara perjalanan haji dan asosiasi kepada pihak di Kementerian Agama.
Setelah memperoleh tambahan kuota, pihak-pihak tersebut kemudian menjualnya kepada calon jamaah yang ingin berangkat lebih cepat.
Dalam rangkaian penyidikan, KPK telah memeriksa beberapa pihak, termasuk Yaqut Cholil Qoumas, serta melakukan penggeledahan di kediamannya.
Dari penggeledahan tersebut, penyidik menemukan sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik yang diduga kuat berkaitan dengan kasus dugaan korupsi kuota haji ini.
Penulis : Laili R