1TULAH.COM-Kementerian Sosial (Kemensos) tengah menjadi sorotan publik menyusul inisiatifnya menggelar retret bagi Kepala Sekolah Rakyat. Kegiatan pembekalan intensif ini diadakan selama lima hari, mulai 16-20 Juni 2025, di Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi (Pusdiklatbangprof) Marga Guna, Jakarta Selatan.
Langkah ini, meski diklaim untuk menyamakan persepsi, justru memicu perdebatan sengit tentang arah pendidikan nasional di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Gus Ipul Akui Konsep “Nyontek” Retret Pejabat Tinggi
Menteri Sosial, Saifullah Yusuf alias Gus Ipul, mengungkapkan bahwa retret tahap pertama ini diikuti oleh 53 Kepala Sekolah Rakyat dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka akan dibekali beragam materi krusial, mulai dari Kebijakan Sekolah Rakyat, Pendidikan Inklusif Ramah Anak dan HAM, Motivasi dan Empati Sosial, Pengelolaan Sekolah Asrama, hingga Kurikulum Sekolah Rakyat. Tak ketinggalan, materi Bela Negara dan Bimbingan Pengasuhan, serta Manajemen Administrasi Sekolah juga menjadi agenda utama.
Pemateri pun datang dari berbagai lembaga terkemuka, seperti Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, KPAI, bahkan TNI.
“Kami minta bantuan TNI dalam hal ini untuk membantu kedisiplinan,” kata Gus Ipul usai membuka acara. Yang menarik, Gus Ipul mengakui bahwa konsep retret ini sedikit “menyontek” pola retret menteri dan kepala daerah yang sebelumnya telah digelar pemerintah. Bahkan, penggunaan seragam pakaian dinas lapangan (PDL) lengkap dengan topi dan sepatu boot turut diadopsi.
“Kami mengambil yang baik dari apa yang sudah dilakukan, baik itu retret menteri maupun kepala daerah. Jadi manfaatnya besar,” ujarnya, optimis.
Kekhawatiran Pakar: Ketika Pendidikan Dijejali Gaya Militeristik
Namun, kehadiran TNI dan pendekatan yang menyerupai retret militer ini justru menimbulkan kekhawatiran serius. Banyak pihak, khususnya para pengamat, menilai ini sebagai sinyal kuat akan semakin menguatnya pola militeristik dalam tata kelola pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, mengingat pendekatan serupa sebelumnya juga diterapkan kepada menteri dan kepala daerah.
Herdiansyah Hamzah alias Castro, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman Samarinda, menganggap retret Kepala Sekolah Rakyat dengan pelibatan TNI ini semakin menandai konsistensi gaya pemerintahan Prabowo yang cenderung mengadopsi disiplin struktur militer ke dalam sektor-sektor sipil. Menurutnya, pola ini merupakan warisan cara pandang militeristik yang melekat pada Prabowo sebagai mantan jenderal.
“Dan itu sudah kita prediksi sejak awal,” kata Castro kepada Suara.com.
Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) ini menyoroti bahaya ketika pendekatan militeristik mulai merambah dunia pendidikan. Menurut Castro, bukan tidak mungkin kebijakan retret untuk Kepala Sekolah Rakyat ini nantinya menjadi pintu masuk untuk menyusupkan pendekatan serupa ke sekolah-sekolah umum lain. “Ini semacam kotak Pandora,” ujarnya, khawatir.
Castro juga mengaitkan hal ini dengan kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang pernah mengirim anak-anak “nakal” ke barak militer. Sikap permisif Prabowo terhadap kebijakan Dedi Mulyadi tersebut, menurut Castro, semakin membuka ruang legitimasi bagi pendekatan serupa dalam sistem pendidikan nasional. Jika pola ini terus meluas, Castro khawatir dampaknya bukan hanya mengancam otonomi pendidikan, tetapi juga demokrasi. Pendidikan, imbuhnya, akan kehilangan fungsi kritisnya dan berubah menjadi alat pembentukan warga negara yang tunduk, bukan berpikir.
“Pola militeristik pasti menerapkan sistem komando dan pembungkaman. Mustahil akan ada ruang kritis di dalamnya,” ungkapnya.
Pendidikan Bukan Barak: Suara Para Ahli
Senada dengan Castro, Bukik Setiawan, pengamat pendidikan sekaligus pendiri Komunitas Guru Belajar Nusantara, juga berpendapat sama. Ia menegaskan bahwa pendekatan retret ala militer yang bertumpu pada komando tunggal dan ketaatan mutlak, bukanlah ruh dari dunia pendidikan.
“Kepala sekolah bukan komandan pasukan, tapi pemimpin pembelajaran. Ia harus mampu mendengar, membuka ruang partisipasi, dan memantik tumbuhnya kepemimpinan kolektif,” jelas Bukik kepada Suara.com.
Ketika pendekatan militeristik disusupi ke ruang pendidikan, Bukik mengibaratkan seperti menyemai benih yang salah di “tanah” yang seharusnya merdeka. “Risikonya bukan cuma teknis, tapi ideologis,” ujarnya.
Sependapat dengan Castro, Bukik mengatakan pendekatan militeristik di lingkungan pendidikan berpotensi mengaburkan batas antara ketaatan dan kepatuhan tanpa nalar. Jika itu diterapkan pada guru dan kepala sekolah, bisa mematikan ruang dialog, mengikis semangat kritis, hingga menekan keberanian untuk bersuara. “Pendidikan yang demikian hanya melahirkan generasi penurut, bukan pembaharu,” bebernya.
Alih-alih menggunakan pendekatan militeristik, Bukik menyarankan pemerintah memfasilitasi ruang refleksi, dialog antarpemimpin atau kepala sekolah. Ia juga menyarankan untuk membuat studi kasus nyata tentang sekolah yang berhasil membangun kedisiplinan murid. “Sebab kedisiplinan yang otentik bukan hasil teriakan, tapi buah dari komitmen dan relasi yang bermakna,” tuturnya.
Bukan Perintah Presiden, Tapi Visi Program Baru
Meskipun mengakui konsepnya mengadopsi retret Menteri dan Kepala Daerah, Gus Ipul mengklaim retret Kepala Sekolah Rakyat digelar bukan atas permintaan khusus dari Presiden Prabowo. “Tidak ada permintaan secara khusus dari Bapak Presiden,” katanya.
Gus Ipul menjelaskan, tujuan utama dari retret kepala sekolah pada dasarnya adalah untuk menyamakan persepsi terkait visi dan misi Sekolah Rakyat. Hal ini dinilai penting mengingat Sekolah Rakyat merupakan program baru yang akan mulai diselenggarakan pemerintah pada tahun ajaran 2025/2026.
“Kami menyadari betapa pentingnya memberikan pemahaman yang utuh tentang Sekolah Rakyat ini kepada para kepala sekolah,” tuturnya.
Sebanyak 47 Kepala Sekolah Rakyat akan mengikuti retret di tahap dua. Selain kepala sekolah, kegiatan yang dijadwalkan berlangsung pada awal Juli 2025 itu juga akan diikuti guru atau tenaga pendidik Sekolah Rakyat. “Awal bulan depan, retret tahap kedua untuk 1.514 guru dan 600 guru agama akan dimulai,” pungkasnya.
Dengan demikian, meski diklaim sebagai upaya penyelarasan visi, retret Kepala Sekolah Rakyat ini telah memicu perdebatan luas mengenai keseimbangan antara disiplin dan kebebasan berekspresi dalam dunia pendidikan. (Sumber:Suara.com)