1TULAH.COM-Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta menjadi salah satu kota yang dikunjungi Kaisar Jepang Hironomiya Naruhito selama berada di Indonesia.
Kunjungannya ke Yogyakarta merupakan tapak tilas saat Kaisar Akihito, sang ayahnda pada tahun 1991 silam. Saat itu Kaisar Akihito juga disambut dengan sangat istimewa oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Kaisar Jepang, Hironomiya Naruhito berkunjung ke Indonesia pada 17-23 Juni 2023. Selain ke Jakarta, dia juga secara khusus berkunjung ke Yogyakarta.
Sebagai tamu dia disambut penuh hormat, seolah tidak ada sejarah kelam yang patut diingat dari kedua negara.Sri Sultan Hamengkubuwono X memakai ageman takwa, atau pakaian jawa khas keluarga Keraton Yogyakarta ketika menyambut Kaisar Naruhito, Rabu (21/6/2023) malam.
Pakaian ini selalu dikenakan ketika Sultan menghormati tamu dari kalangan monarki, seperti kunjungan Raja Kerajaan Belanda Willem-Alexander, pada Maret 2020 lalu.
GKR Mangkubumi, putri sulung Sri Sultan Hamengkubuwono X, sedikit bercerita tentang bagaimana mereka menyambut kedatangan Naruhito.
“Ada tarian, seperti biasa tarianya Beksan Lawung, kemudian beliau melihat batik, keris, wayang kulit. Intinya beliau senang sekali dan melanjutkan visit dari orang tuanya sebelumnya, ke sini,” ujar Mangkubumi.
Naruhito juga menikmati sajian khas Kraton kali ini. Setup jambu dipilih sebagai minuman pembuka, diikuti sop ayam, nasi pandan wangi, empal sapi, hingga es teler sebagai penutup.
Pada 1991, Kaisar Akihito yang merupakan ayah Naruhito, berkunjung ke Keraton Yogyakarta, dan juga diterima oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X. Karena itu, Mangkubumi juga menyebut kunjungan ini sebagai silaturahmi antargenerasi bagi kedua monarki.
Saudara Tua Sampai Kini
Jepang bukan negeri asing bagi rakyat Indonesia. Dalam sejarah, kata sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakara, Aji Cahyo Baskoro, hubungan dagang warga dua negara sudah terjadin sejak abad ke-16.
“Sudah ada lalu lintas orang Jepang ke Nusantara dan juga pedagang dari Indonesia ke Jepang. Terus kemudian sebelum periode perang, awal abad 20 sampai meletusnya Perang Dunia, juga sudah banyak orang-orang Jepang yang berdagang di Indonesia,” tambah Aji.
Namun, sejarah kedua negara paling banyak dibicarakan, termasuk menjadi bagian dari pelajaran di sekolah adalah pada periode penjajahan 1942-1945.
Tahun 1958, melalui perjanjian San Fransisco, Jepang bersedia membayar pampasan atau dana ganti rugi perang. Indonesia termasuk salah satu negara yang menerimanya, dan dimulailah program-program bantuan pembangunan dari negara itu.
Tahun itu pula, Colomba Plan ditetapkan sebagai kesepakatan negara-negara di wilayah Selatan yang miskin. Jepang turut berbaik hati menggelontorkan dana bantuan. Salah satunya terwujud dalam proyek sabo dam di Gunung Merapi Yogyakarta dan Semeru Jawa Timur.
Tidak heran, jika Kaisar Naruhito menyempatkan diri menengok Balai Teknik Sabo, milik Kementerian PUPR di Yogyakarta.
“Karena sama, Indonesia dan Jepang. Jepang punya 111 gunung berapi, kita mempunyai 129 gunung berapi. Jadi pengendalian laharnya dengan menggunakan sabo,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono.
Sabo adalah bahasa Jepang untuk pasir. Teknologi ini dibawa Jepang untuk menangani amukan gunung Merapi dan Semeru, yang bisa mengirim jutaan kubik material ketika meletus. Dam sabo di bangun di aliran sungai, bukan untuk membendung air tetapi menahan laju pasir dan batu.
Sementara air leluasa mengalir hingga bawah. Bentuknya seperti tangga, jika sabo di bagian atas telah penuh pasir dan batu, maka material akan mengalir ke bawah dan ditampung di dam kedua. Begitu seterusnya hingga material letusan diharapkan tidak menjadi ancaman di kawasan pemukiman.
“Merapi menurut master plan butuh 367 dam sabo, sekarang baru 227, masih butuh 90 lagi, untuk kapasitas 11 juta meter kubik pasir,” lanjut Basuki.
Sepanjang kunjungannya, Kaisar terlihat begitu senang bahwa bantuan negaranya dapat dipakai sejak 1958 hingga saat ini. Sejak 1970, para tenaga ahli dari Jepang silih berganti datang dalam proyek dam sabo, begitupun ratusan ahli Indonesia belajar ke Jepang.
Dari sisi sejarah, kata Aji, Indonesia memang sangat mudah memaafkan. Hanya beberapa tahun setelah pemberian pampasan perang melalui bantuan pembangunan infrastruktur, Indonesia menjadi pasar besar bagi produk otomotif Jepang, sampai saat ini.
Begitupun, kekejian terkait romusha, jugun ianfu atau bentuk kekejaman tentara Jepang sepanjang perang kemerdekaan, seolah hilang tanpa bekas, dan sekadar menjadi perbincangan. (Sumber:voaindonesia.com)