1TULAH.COM-Proyek PT Kayan menjadi salah satu proyek strategis nasional yang dibanggakan pemerintahan Jokowi. Dalam beberapa forum internasional, proyek bendungan yang menenggelamkan dua desa beserta sejarahnya ini dianggap akan menjadi bagian keberhasilan dan kesuksesan transisi energi Indonesia dari energy fosil.
Begitu pula di Desa Long Peleban.
Di usianya yang menginjak 89 tahun, Udau Kedung, masih mengingat jelas bagaimana terkesimanya dia melihat langsung bendungan terbesar di dunia, Three Gorges, ketika berkunjung ke China pada 2012.
Udau adalah salah satu tokoh masyarakat Desa Long Peleban yang diajak oleh PT KHE untuk melihat bagaimana bendungan raksasa itu beroperasi.
Kami masuk di kamar yang ada gambar-gambar mereka sebelum melaksanakan dam itu, jiram (jeram) besar juga di situ, sama dengan di daerah kita di sini, jiram besar. Tapi sesudah dam, ndak ada sudah jiram-nya, kenang Udau.
Dam yang mereka buat itu bukan seperti yang kita menduga. Keyakinan saya itu ndak bisa roboh. Sebab kalau kami lihat di sana, malah perumahan di tempat yang tidak baik. Kalau ada tanah lebih malah membuat persawahan, di samping itu sawit.
Melihat kondisi itu, dan membandingkannya dengan kondisi desanya yang begitu tertinggal, pandangan Udau pun seketika berubah.
Itu kegunaannya, selain dam itu membuat penerangan buat kita. Ekonomi dulu. Di situ lah kami lihat, oh di situ lah kegunaannya. Itu ndak terlalu panjang saya bicara, lalu saya ulangi lagi, menurut masyarakat kami, setuju, kata Udau.
Apalagi PT KHE ketika itu menjanjikan ganti untung untuk masyarakat. Dengan dibangunnya bendungan, Udau berharap perusahaan juga akan membangun akses jalan yang layak, menyambungkan listrik ke rumah-rumah warga, hingga membuka peluang kerja bagi para pemuda desa.
Memang kalau secara itu saja kita pikirkan, siapa yang ndak menyayangi bekas-bekas orang tua kita dulu, baik kuburan, tanaman, perumahan. Tetapi karena mereka yang duluan membuka hati atau pikiran kita, mau memindahkan kami di lokasi yang lain, kami tinggal pegang kunci saja.
Seberapa signifikan proyek PLTA Kayan?
Sungai Kayan, yang mengalir sepanjang 576 kilometer di wilayah utara Kalimantan ini disebut memiliki potensi tenaga air hingga 13.000 megawatt.
Potensi itulah yang akan dimanfaatkan untuk membangun proyek ambisius ini, di tengah desakan terhadap pemerintah untuk bertransisi dari energi fosil.
Presiden Jokowi pun cukup gencar mempromosikan PLTA Kayan sebagai megaproyek yang menjadi bagian dari transisi energi Indonesia ini.
Salah satunya pada forum bisnis B20, yang digelar di sela-sela KTT G20 di Bali pada November 2022 lalu.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Septian Hario Seto mengatakan PLTA skala besar seperti Kayan dipilih karena karakteristiknya yang stabil dapat menggantikan energi fosil.
Dia menyebut PLTA Kayan sebagai proyek super-prioritas yang tidak bisa dipisahkan dari proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI).
Keduanya terkait erat, sebab PLTA sebesar ini membutuhkan industri yang besar pula untuk menyerap listriknya.
Sebaliknya, produk-produk dari KIHI akan memiliki dayang saing yang tinggi ketika dihasilkan dengan emisi karbon rendah.
Itu saya kira bisa berkontribusi ekspor sangat signifikan di Indonesia kalau ekosistemnya jadi. Mungkin nilai ekspornya bisa mencapai 100 miliar dolar setiap tahunnya kalau ekosistemnya nanti jadi di sana, kata Seto.
Dengan nilai sebesar itu, KIHI pun menjadi proyek strategis nasional. PLTA Kayan kemungkinan besar akan menyusul dengan status itu.
‘Seperti langsung mau merampas saja’
Setelah lebih dari 10 tahun direncanakan, progres proyek ini berjalan lambat. Hingga Oktober lalu, konstruksi bendungan belum juga dibangun. PT KHE baru terlihat membangun akses jalan untuk proyek.
KHE mengklaim bahwa konstruksi bendungan akan mulai dibangun pada 2023, begitu pula dengan relokasi masyarakat.
Namun sampai saat ini belum ada kesepakatan soal ganti rugi hak-hak masyarakat. Lokasi relokasi yang diusulkan perusahaan pun belum sepenuhnya diterima.
Masyarakat Desa Long Peleban misalnya, ingin pindah ke area yang tidak jauh dari desa mereka saat ini. Namun permintaan itu ditolak lantaran area yang diinginkan masyarakat itu berstatus sebagai hutan lindung.
Pernyataan soal pemenuhan hak masyarakat, baru sebatas janji-janji yang diucapkan secara lisan.
Salah satu warga Desa Long Peleban, yang meminta identitasnya disembunyikan, mengatakan bahwa mereka bahkan belum pernah melihat dokumen Rencana Aksi Penyediaan Lahan dan Pemukiman Kembali (LARAP) terkait relokasi mereka.
Sama sekali belum pernah kami lihat [studi LARAP dari PT KHE], katanya.
Belum tuntas kebingungan itu, selama beberapa bulan terakhir muncul pula posko percepatan proyek strategis nasional di Desa Long Peleban.
Nama perusahaan yang tertera pun berbeda. Bukan PT Kayan Hydro Energy, melainkan PT Kalimantan Industrial Park Indonesia PT Pembangkit Epsilon Indonesia.
PT Epsilon, sebelumnya dalam laporan Majalah TEMPO, disebut terkait dengan keponakan dari Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Belakangan, kehadiran PT Epsilon di Kayan pun seakan diteguhkan oleh pemerintah.
Pada akhir Desember 2022, Bupati Bulungan Syarwani meneken kerja sama dengan PT Epsilon untuk menggarap PLTA Kayan.
Kepada wartawan di Tanjung Selor, Syarwani mengakui bahwa PT Epsilon akan membangun di lokasi yang sama dengan PT KHE.
Sementara di Desa Long Peleban, tim dari PT Epsilon mulai mengukur lahan dengan hak pengelolaan (HPL) yang dipegang masyarakat.
Ini membuat warga waswas, sekaligus merasa tidak dilibatkan.
Belum ada musyawarah sama sekali dengan PT Epsilon. Saya juga baru lihat ada surat, pak kades (kepala desa) bikin surat yang mengatasnamakan masyarakat mendukung penuh kegiatan PT Epsilon. Masyarakat tidak tahu sama sekali, kata warga yang meminta namanya tidak disebutkan.
“Mana ada masyarakat mendukung penuh,” sambungnya.
PT Epsilon juga dia sebut sudah menawarkan untuk membayarkan uang muka untuk membeli tanah masyarakat sebesar Rp5 juta per bidang tanah, dan sebagai syaratnya masyarakat diminta membuat rekening bank serta menandatangani surat tanah. Masyarakat menolak itu, kata dia.
Kami harus tahu persis dulu maksud perusahaan apa, dan untuk ganti rugi lahan dan tanam tumbuh harus ada musyawarah dulu ke masyarakat, harus ada studi LARAP dulu. Kan dari situ kami bisa berpatok, tutur dia.
Kalau seperti ini, seperti langsung mau merampas saja, ujarnya.
Berdasarkan apa yang dialami masyarakat sejauh ini, Zakki Amali dari TrendAsia, meragukan masyarakat akan mendapatkan hak-hak mereka secara adil dalam pembangunan PLTA Kayan.
Dia justru mengatakan masyarakat “akan menjadi korban berkali-kali”.
“Kita tidak bisa ngomong ganti untung ganti rugi, kalaupun mendapatkan ganti dari perusahaan atau pemerintah tidak akan mengembalikan kehidupan yang sama. Mereka menghadapi lingkungan yang baru, situasi ekonomi yang baru,” kata Zakki.
PT KHE berjanji akan menjamin hak-hak masyarakat, yang nantinya akan dinegosiasikan “ketika konstruksi bendungan dimulai”.
“Apakah nanti mengajukannya [sesuai] NJOP, apakah kesepakatan, karena tanah masyarakat itu kan sebagian besar belum ada sertifikat, makanya ini adalah negosiasi menuju kesepakatan,” kata Khaerony.
Bupati Bulungan Syarwani tidak merespons permohonan wawancara, pesan singkat, telepon, maupun permintaan hak jawab dari BBC News Indonesia terkait hal ini. (Sumber:suara.com/bersambung)