1TULAH.COM-Bayangkan hidup sebagai seorang perempuan muda yang cerdas dan haus akan ilmu, namun terkurung oleh adat dan aturan yang membatasi setiap langkah.
Dunia luar tampak begitu dekat, namun terasa mustahil untuk dijangkau. Inilah realita yang dihadapi Raden Ajeng Kartini di masa mudanya.
Namun, di balik kungkungan adat dan keterbatasan ruang gerak, Kartini tak pernah berhenti menulis, berpikir, dan bermimpi.
Kisahnya, jika ditelisik melalui lensa Psikologi Humanistik, khususnya teori Abraham Maslow, adalah potret otentik perjuangan manusia untuk menggapai aktualisasi diri.
Psikologi Humanistik: Memanusiakan Potensi Diri
Samsara (2020) dalam karyanya dengan apik menjelaskan bahwa Psikologi Humanistik merupakan aliran psikologi yang menempatkan manusia sebagai individu yang memiliki potensi unik, berharga, dan senantiasa berproses untuk berkembang. Salah satu tokoh sentralnya, Abraham Maslow, menggagas teori Hierarki Kebutuhan yang ikonik.
Teori ini menggambarkan lima tingkatan kebutuhan manusia yang tersusun dalam bentuk piramida:
- Kebutuhan Fisiologis: Dasar dari segala kebutuhan, meliputi makan, minum, tidur, dan kesehatan fisik.
- Kebutuhan Keamanan: Rasa aman, stabilitas, perlindungan dari bahaya dan ketidakpastian.
- Kebutuhan Sosial: Kebutuhan akan cinta, kasih sayang, persahabatan, dan rasa memiliki dalam komunitas.
- Kebutuhan Penghargaan: Dorongan untuk meraih prestasi, mendapatkan pengakuan, rasa hormat dari diri sendiri dan orang lain.
- Kebutuhan Aktualisasi Diri: Puncak dari hierarki, yaitu hasrat untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri, mengembangkan potensi secara maksimal, dan mencapai pemenuhan diri.
Pemberontakan Jiwa Kartini: Melampaui Kebutuhan Dasar
Riset Adziima (2021) menyoroti bahwa aktualisasi diri adalah dorongan inheren dalam diri manusia untuk mengembangkan potensi tertinggi yang dimilikinya. Dari sudut pandang eksternal, Kartini terlahir dalam kemewahan dan status sosial yang tinggi. Ia tidak kekurangan materi. Namun, melalui surat-suratnya yang penuh gejolak, kita memahami bahwa jiwanya meronta-ronta, dahaga akan ilmu pengetahuan dan kebebasan berpikir. Surat-surat yang ia kirimkan kepada sahabat-sahabat korespondensinya di Belanda, terutama Estelle Zeehandelaar dan Rosa Abendanon, yang kemudian dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”, bukan sekadar keluhan, melainkan manifestasi mimpi, kritik terhadap ketidakadilan, dan harapan akan perubahan.
Dalam suratnya, Kartini dengan lugas menulis:
“Kami anak perempuan hanya boleh duduk manis di rumah, sementara saudara-saudara lelaki kami bebas ke sekolah dan mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Apakah kami ini bukan manusia juga?”
“Saya ingin menjadi manusia yang hidup sepenuhnya, bekerja, berkarya, berpikir, belajar…”
Tulisan Sebagai Jalan Aktualisasi Diri
Meskipun dunia di sekitarnya membatasi ruang geraknya, Kartini menemukan jalannya untuk mencari makna hidup melalui tulisan. Ia lantang menyuarakan pemikirannya tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan, kesetaraan hak, dan kebebasan berpikir, jauh sebelum gagasan feminisme populer di Indonesia. Inilah esensi dari pendidikan yang humanistik, yaitu pendidikan yang memberdayakan individu untuk mengenali dan mengembangkan potensi diri, bukan sekadar transfer pengetahuan tanpa pemahaman.
Artikel riset Rachmahana (2008) menegaskan bahwa pendidikan humanistik berfokus pada pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan yang relevan untuk karier. Aliran ini selalu menekankan peningkatan kualitas diri melalui apresiasi terhadap potensi positif yang ada dalam diri setiap individu.
Kartini adalah representasi sempurna dari konsep ini. Ia mengembangkan dirinya melalui cara-cara yang terbatas namun efektif: menulis surat, membaca buku-buku Eropa, dan berdialog dengan tokoh-tokoh pemikir dari luar negeri. Dari keterbatasannya, Kartini justru mampu menginspirasi jutaan perempuan Indonesia hingga saat ini.
Lebih dari Sekadar Pahlawan Perempuan: Studi Kasus Aktualisasi Diri
Kartini bukan hanya sekadar pahlawan emansipasi perempuan. Ia adalah bukti nyata bahwa aktualisasi diri dapat terwujud bahkan dalam kondisi yang penuh keterbatasan. Kartini menunjukkan bahwa meskipun fisiknya terkurung, jiwanya mampu tumbuh bebas dan menghasilkan karya yang abadi. Ia berhasil melampaui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya, kemudian mencari makna, menetapkan tujuan hidup, dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi sesamanya. Inilah inti dari aktualisasi diri: menjadi individu yang bermakna dan memberikan manfaat bagi orang lain.
Dalam ranah psikologi, Kartini lebih dari sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalah studi kasus hidup yang mendalam tentang bagaimana jiwa manusia mampu berkembang dan mencapai potensi tertingginya, bahkan ketika dunia di sekitarnya mencoba menekannya.
Seperti yang tersirat dalam judul bukunya yang abadi, “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Kartini seolah berpesan: “Jadilah cahaya, bahkan jika kamu dilahirkan dalam kegelapan.” Kisahnya adalah inspirasi abadi tentang kekuatan jiwa manusia dalam meraih aktualisasi diri, melampaui segala batasan yang ada. (Sumber:Suara.com)