1TULAH.COM-Fakta menarik dilansir oleh BKKBN.Terutama yang berhubungan dengan muncul tren menunda pernikahan (Delay) di kalangan wanita milenial Indonesia.
Penundaan waktu menikah dari sebelumnya rerata wanita milineal Indonesia dari –usia sebelumnya di bawah 20 tahun, kini menjadi rerata 22 tahun-, disebut-sebut sebagai dampak resesi seks yang terjadi di Negara Jepang dan Korea.
Tetapi, meski menunda menikah, namun alasan hampir semua wanita atau keluarga muda fokus melakukan prokreasi atau menghasilkan keturunan.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendata usia wanita menikah di Indonesia lebih meningkat.
Dalam pendataan yang dilakukan BKKBN, rata-rata usia perempuan yang menikah pertama kali di tahun 2021 berusia 22 tahun. Sementara sekitar lima hingga 10 tahun lalu, rata-rata usia perempuan menikah masih di bawah 22 tahun.
“Pada saat itu, seperti 20 atau 21 tahun bahkan di bawah itu. Jadi ada kemunduran dari sisi usia pernikahan (delay),” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam Apa Kabar Indonesia Malam.
Meski menunda menikah, namun alasan hampir semua wanita atau keluarga muda fokus melakukan prokreasi atau menghasilkan keturunan.
“Orang mau berkeluarga di Indonesia cenderung untuk prokreasi atau mendapatkan keturunan. Itu hampir 99 persen, coba tanyakan ke pasangan usia subur atau orang yang baru menikah, tujuannya pasti prokreasi,” katanya.
Hasto menuturkan bahwa adanya adat, budaya dan agama yang dianut kuat dalam masyarakat, telah mempengaruhi tujuan keluarga, untuk melakukan prokreasi atau menjalin hubungan menjadi suami istri, guna menghasilkan keturunan.
Tujuan untuk prokreasi akhirnya membuat Indonesia, memiliki jumlah rata-rata pernikahan mendekati dua juta pasangan setiap tahunnya. Dari pernikahan tersebut, diketahui 80 persen atau sekitar 1,6 juta perempuan hamil di tahun pertamanya menikah.
“Makanya di Indonesia satu tahun yang lahir hampir 4,8 juta. Jadi jauh dari pemahaman resesi seks kalau diterjemahkan sebagai penurunan atau ketidakinginan punya anak, kita masih jauh,” ujarnya.
Hasto menjelaskan tujuan keluarga di Indonesia itu, berbeda dengan negara lain. Di Jepang atau Korea Selatan, penduduknya belum tentu menikah untuk prokreasi.
Kebanyakan melangsungkan pernikahan untuk melakukan seks, dengan aman atau mencari pasangan, yang bisa memberikan keamanan dan perlindungan secara material.
“Makanya memang yang disampaikan Pak Presiden itu menunjukkan bahwa Indonesia masih aman dari sisi zero growth maupun minus growth sehingga TFR 2,1. Saya juga pastikan ke Bapak Presiden bahwa rata-rata satu perempuan (di Indonesia) masih melahirkan, satu anak perempuan juga. Jadi tidak perlu khawatir untuk terjadi resesi dari sisi reproduksi,” kata Hasto.
Selain itu Hasto menyoroti resesi seks merupakan istilah baru, yang definisinya masih sulit dijelaskan, dan disesuaikan dengan ilmu kedokteran. Menurutnya, resesi seks berbeda dengan resesi ekonomi, yang berbicara dalam konteks penurunan secara masif.
“Kalau terjadi penurunan kemampuan ekonomi disebut resesi ekonomi. Tapi kalau resesi seks diterjemahkan penurunan secara massif, atau serentak kemauan untuk aktivitas seksual? itu tidak mungkin karena aktivitas seksual adalah hal yang alamiah secara biologis,” katanya.
Hasto menyatakan lebih setuju bila fenomena itu disebut dengan menurunnya jumlah penduduk (minus growth demography) dibandingkan resesi seks.
Oleh karenanya dirinya meminta agar masyarakat supaya tidak disesatkan dengan kata resesi seks.
“Jadi kalau ini dianggap sebagai suatu resesi, ini bukan resesi seks, tapi bisa terjadi resesi penduduk. Saya kira kita perlu merespon tentang resesi seks dengan definisi yang pas barangkali agar tidak menyesatkan,” ujarnya. (Sumber:suara.com)