1TULAH.COM-Upaya transisi menuju energi terbarukan tengah diupayakan oleh pemerintah. Selain dengan berupaya mempersiapkan pemensiunan beberapa PLTU Batubara sebelum tahun 2030 mendatang, saat ini beberapa PLTU juga sudah berupaya melakukan Co Firing dengan bahan bakar nonfosil.
Bahan bakar yang dijadikan Co Firing pun tidak hanya dari bahan kayu dari hutan tanaman energi (HTE), melainkan juga dari bahan limbah seperti dari sekam padi maupun bonggol jagung.
Salah satu upaya inovasi dalam Co Firing dari bahan non fosil adalah dengan bonggol jagung. Dalam hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh PLTU Jeneponto sejak tahun 2021.
PT PLN (Persero) melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Punagaya di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, memanfaatkan limbah petani di tiga daerah berupa bonggol jagung sebagai pengganti bahan bakar batubara (cofiring).
“Kami bersinergi dengan masyarakat di Kabupaten Takalar, Jeneponto dan Gowa untuk menurunkan emisi karbon dan mendukung transisi energi melalui pemanfaatan bonggol jagung sebagai bahan bakar,” kata Vice President Bioenergy PLN, Anita Puspita Sari disela kunjungan kerjanya di Makassar, Selasa (13/12/2022).
Dia mengatakan, pihaknya telah mengunjungi Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Takalar yang memiliki potensi jagung yang cukup besar dan limbahnya dapat digunakan sebagai alternatif batubara (cofiring) untuk bahan bakar PLTU Punagaya.
PLTU Punagaya berkapasitas 2 x 100 MW merupakan salah satu PLTU dalam sistem kelistrikan Sulawesi Bagian Selatan yang menerapkan cofiring.
PLTU Punagaya memanfaatan limbah domestik berupa bonggol jagung sebagai bahan bakar alternatif campuran batubara guna peningkatan kualitas produksi listrik serta rantai pasok energi primer pada PLTU.
Menurut Anita, tiga daerah yang potensial menjadi penyuplai bonggol jagung sejak Program Cofiring PLTU Punagaya dimulai pada 10 Februari 2021 yakni Kabupaten Takalar, Jeneponto dan Kabupaten Gowa.
Hal itu dibenarkan mitra PLTU Punagaya, Edward yang memasok olahan bonggol jagung yang sebelumnya dikumpulkan dari para petani seusai panen.
Dia mengatakan, selama ini sebagian besar bongkol jagung diperoleh dari Kabupaten Takalar dan Jeneponto, sedang Kabupaten Gowa sebagai pendukung jika pasokan kedua daerah itu berkurang.
Untuk pengolahan bonggol jagung itu menjadi bahan bakar alternatif, lanjut dia, dapat mencapai 20 ton per hari saat musim panen jagung. Sedang untuk pengumpulan bonggol jagung itu di lapangan, juga menggunakan mitra dari masyarakat setempat.
Sementara itu, Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetiyo menyebutkan, sejauh ini penggunaan limbah pertanian tidak efisien, karena petani lebih memilih menjual limbah pertaniannya ke pengepul daripada untuk keperluan co firing.
“Harga jual untuk keperluan di luar keperluan co-firing masih lebih mahal,“ kata Andri Prasetiyo saat diskusi pada Professor Forum and Stakeholders: COP 27 hanya sebuah angka urut atau milestone upaya penurunan emisi Indonesia? pada Rabu (14/12/2022).
Ia menambahkan, selain permasalahan harga, limbah pertanian sebagai bahan dasar co-firing belum bisa memenuhi secara terus-menerus keberlangsungan pasokan. Masalah-masalah itu, kata Andri, membuat pemerintah gencar mendorong program Hutan Tanaman Energi (HTE) agar bisa memasok bahan baku untuk co-firing PLTU secara terus-menerus dan dalam skala besar.
Ia pun mengkritisi program itu. Menurutnya, co-firing PLTU dengan bahan baku biomassa jenis apa pun jadi tidak relevan dengan komitmen net zero emisi pemerintah karena praktiknya hanya akan memperpanjang umur batubara.
“Padahal jelas dalam skenario transisi energi global, kita harus segera mempensiunkan PLTU batubara,” tegasnya. (Sumber:suara.com/*)
Diclaimer : Artikel yang diterbitkan merupakan hak koreksi . Karena pada bagian penjelasan dari Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetiyo pada kegiatan zoom meeting acara diskusi pada Professor Forum and Stakeholders: COP 27 hanya sebuah angka urut atau milestone upaya penurunan emisi Indonesia? Pada Rabu (14/12/2022), menyebutkan, penggunaan limbah pertanian masih belum efisien, karena petani lebih memilih menjual limbah pertaniannya ke pengepul daripada untuk keperluan co firing.
“Harga jual untuk keperluan di luar keperluan Co Firing masih lebih mahal,“ kata Andri Prasetiyo saat diskusi pada Professor Forum and Stakeholders: COP 27 hanya sebuah angka urut atau milestone upaya penurunan emisi Indonesia? Pada Rabu (14/12/2022).
Ia menambahkan, selain permasalahan harga tersebut, limbah pertanian sebagai bahan dasar Co Firing masih belum bisa memenuhi secara terus-menerus keberlangsungan pasokan.
“Jadi dalam hal ini, kita masih melihat Co Firing dengan HTE masih paling mudah dilakukan dalam masa transisi energi menuju energi terbarukan secara penuh,”tukasnya.
Karena ada informasi terpotong disampaikan. Dilakukan hak koreksi, sesuai bentuk tanggung jawab sesuai pedoman Dewan Pers.