1TULAH.COM-Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) telah menjadi metode pembayaran yang familiar dan nyaman digunakan sehari-hari.
Namun, tahukah Anda bahwa belakangan kedua sistem pembayaran kebanggaan Indonesia ini justru menjadi sorotan tajam dalam diskusi dan lobi antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat (AS) terkait negosiasi dagang? Lantas, apa sebenarnya alasan di balik permasalahan QRIS dan GPN di mata AS dalam konteks negosiasi dagang ini? Mari kita telaah lebih lanjut.
Kenaikan Pajak Impor AS dan Respon Negosiasi Indonesia
Isu mengenai kenaikan pajak impor barang-barang dari berbagai negara ke Amerika Serikat sempat mencuat dan menimbulkan kekhawatiran global. Presiden Donald Trump kala itu mengumumkan kebijakan ini sebagai upaya untuk melindungi kepentingan negaranya. Kebijakan ini tentu berdampak pada berbagai negara, termasuk Indonesia.
Sebagai respons, pemerintah Indonesia memilih jalur negosiasi dagang untuk mencari solusi terbaik. Namun, dalam proses negosiasi inilah, nama QRIS dan GPN justru muncul sebagai salah satu poin yang diperdebatkan.
QRIS dan GPN Dianggap ‘Pengganjal’ Dominasi Fintech AS
QRIS dan GPN, yang merupakan fondasi sistem pembayaran digital di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir, dinilai oleh AS sebagai penghalang bagi ekspansi raksasa teknologi finansial (fintech) asal Amerika Serikat, seperti VISA dan MasterCard.
Tudingan ini secara tersirat tertuang dalam laporan United States Trade Representative (USTR). Dalam laporannya, USTR menyebutkan bahwa sistem pembayaran nasional Indonesia telah menciptakan “tembok tinggi” bagi pelaku usaha asing. Hal ini dianggap sebagai bentuk proteksionisme digital yang berpotensi mengancam ekosistem keuangan global.
USTR secara gamblang menyoroti bahwa VISA dan MasterCard harus menanggung biaya tambahan dan kehilangan fleksibilitas operasional akibat aturan lokal seperti kewajiban melewati jaringan domestik (GPN) untuk memproses transaksi.
Kedaulatan Sistem Pembayaran Nasional
Pihak pemerintah Indonesia, melalui Bank Indonesia (BI), memiliki pandangan yang berbeda. GPN dan QRIS dipandang sebagai wujud kedaulatan sistem pembayaran nasional yang membawa dampak positif bagi industri dalam negeri.
Bank Indonesia menegaskan bahwa sistem pembayaran nasional yang ada saat ini telah dirancang untuk menurunkan biaya transaksi, meningkatkan efisiensi industri, dan menjamin keamanan data masyarakat secara luas.
BI juga menyatakan bahwa tujuan utama implementasi QRIS dan GPN bukan untuk membatasi pihak asing, melainkan untuk melindungi kepentingan nasional di tengah dinamika ekonomi global. Meskipun demikian, Indonesia tetap terbuka untuk kerja sama, terutama dalam hal interoperabilitas QR lintas negara, yang telah terjalin dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Pemerintah Indonesia Masih Berpegang Teguh pada Pendirian
Meskipun AS terus memberikan tekanan, hingga saat ini BI dan pemerintah Indonesia masih menunjukkan pendirian yang cukup tegas terkait QRIS dan GPN. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BI terkait persoalan ini, namun belum memberikan rincian mengenai langkah konkret yang akan diambil dalam menghadapi potensi tarif dari AS.
Publik pun masih menantikan keputusan akhir pemerintah sebagai respons terhadap perubahan kebijakan perdagangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
Polemik mengenai QRIS dan GPN dalam negosiasi dagang antara Indonesia dan AS menunjukkan adanya pertarungan kepentingan dalam ranah sistem pembayaran digital. Di satu sisi, AS melihatnya sebagai hambatan bagi perusahaan fintech mereka, sementara Indonesia berpegang pada prinsip kedaulatan dan perlindungan kepentingan nasional.
Perkembangan selanjutnya dari negosiasi ini akan sangat menarik untuk disimak, karena akan menentukan arah kebijakan sistem pembayaran digital di Indonesia dan dampaknya terhadap hubungan dagang kedua negara. (Sumber:Suara.com)