1TULAH.COM-Dorongan dan desakan dari sejumlah kelompok masyarakat yang mengatasnamakan korban pelanggaran HAM berat di Indonesia pada masa lalu, agar pemerintah memintaan maaf secara resmi mendapat respons tegas dari pemerintah.
Dalam hal ini, Pemerintah RI menegaskan tidak akan meminta maaf atas pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu. Lebih-lebih terhadap tuntutan kelompok masyarakat yang mengatasnamakan korban G 30S PKI tahun 1965 yang meminta pemerintah mencabut Tap MPRS nomor 25 tahun 1966 tentang PKI sebagai organisasi terlarang.
Dengan alasan semua proses hukumya sudah dianggap selesai secara yudisial. Catat nih, hai para keturunan PKI!
Namun demikian, Pemerintah tetap membuka diri untuk proses penyelesaian non yudisial terhadap keluarga korban pelanggaran HAM Berat pada masa lalu.
Pemerintah menegaskan tidak akan meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Menko Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD usai menggelar Rapat Terbatas yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, bersama dengan 19 pejabat tinggi, termasuk Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung dan kepala lembaga terkait lainnya.
Rapat tersebut, ujar Mahfud membahas tindak lanjut rekomendasi Komnas HAM terkait penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu.
“Tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu, tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu,” ungkap Mahfud.
Lanjutnya, juga tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu seperti Tap MPRS nomor 25 tahun 1966. Ke depan, tambahnya, pemerintah akan fokus kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai temuan dari Komnas HAM, yaitu yang mencakup 12 peristiwa.
Ia menekankan jumlah peristiwa ini tidak dapat ditambah oleh pemerintah, karena berdasarkan UU, hanya Komnas HAM yang berhak menentukan sebuah peristiwa termasuk ke dalam kategori pelanggaran HAM berat atau bukan.
“Ditekankan bahwa rekomendasi ini, adalah menitikberatkan perhatiannya kepada korban bukan pada pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu, karena kalau menyangkut pelaku itu menyangkut penyelesaian yudisial yang nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah. Jadi ini titik beratnya kepada korban, bukan kepada pelaku. Kita tidak akan mencari pelakunya dalam penyelesaian non yudisial ini, karena itu urusan Komnas HAM dan DPR,” tegasnya.
Pemerintah, kata Mahfud selanjutnya akan meluncurkan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial. Upaya pertama akan dilakukan di Aceh pada bulan Juni mendatang, yang dipusatkan di Simpang Tiga, Rumoh Geudong, Pos Sattis, serta Jambu Kepuk.
Sebagai bagian penyelesaian itu, negara juga akan memulihkan nama baik para eksil yang saat ini telah bermukim di luar negeri, yang menjadi korban pelanggaran HAM berat di masa lalu, salah satunya pada peristiwa G30S PKI tahun 1965.
“Banyak sekali orang yang tidak terlibat dalam gerakan misalnya apa yang disebut G30S PKI, dulu menjadi korban tidak boleh pulang di luar negeri karena waktu itu mereka disekolahkan oleh Presiden Soekarno ke berbagai negara di Eropa Timur dan lain-lain. Begitu mereka selesai ternyata terjadi peristiwa G30S PKI, sehingga tidak diizinkan pulang pada waktu itu, nah mereka ini masih ada beberapa di luar negeri, nanti akan kita undang,” jelasnya.
Ia mencontohkan, salah satu eksil pada kala itu adalah Presiden BJ Habibie yang ketika itu sedang melanjutkan pendidikan master dan doktor di Jerman, dan tidak bisa pulang pada tahun 1965.
Habibie kala itu, bertemu dengan Presiden Soeharto di Jerman dan kemudian di ajak pulang kembali ke tanah air.
“Nah, korban yang seperti – orang yang sekolah bukan terlibat G30S PKI, hanya disekolahkan saja, sekarang masih ada beberapa di luar negeri. Menurut Menkumham masih ada 39 orang. Nanti akan kita cek satu per satu. Meskipun mereka tidak mau pulang, tetapi mereka akan kita nyatakan sebagai warga negara yang tidak pernah mengkhianati Negara, karena untuk pengkhianatan terhadap negara sudah selesai di pengadilan, sudah selesai di era reformasi di mana skrinning dan sebagainya dihapus, kemudian semua warga negara diberi hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan,” tuturnya.(Sumber:voaindonesia.com)