1TULAH.COM-Dunia mainan koleksi sedang bergejolak, dan nama Wang Ning, pendiri perusahaan mainan raksasa Pop Mart International Group, kini berada di puncak. Untuk pertama kalinya, Wang Ning resmi bergabung dengan jajaran sepuluh miliarder terkaya di Tiongkok. Lonjakan kekayaannya ini tak lain berkat popularitas luar biasa dari boneka ikonik mereka, Labubu, yang laris manis di Asia, Eropa, dan bahkan Amerika Serikat.
Kekayaan Wang Ning Meroket Berkat Pop Mart
Wang Ning, yang menjabat sebagai Ketua dan CEO Pop Mart yang berbasis di Beijing, kini dinobatkan sebagai orang terkaya ke-10 di Tiongkok dan dunia. Dilansir Forbes, kekayaan bersihnya mencapai angka fantastis 22,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp370 triliun. Angka ini didasarkan pada kepemilikan sahamnya di Pop Mart, yang tengah menikmati momentum pertumbuhan yang eksplosif.
Pada usia 38 tahun, Wang Ning juga menjadi anggota termuda di antara para taipan teratas Tiongkok, bersanding dengan nama-nama besar seperti pendiri ByteDance Zhang Yiming, Ketua Nongfu Spring Zhong Shanshan, dan salah satu pendiri Tencent Ma Huateng.
Demam Labubu: Dari Kolektor Hingga Selebritas Dunia
Harga saham Pop Mart, yang terdaftar di bursa saham Hong Kong, telah melonjak tiga kali lipat menjadi lebih dari 270 dolar AS sepanjang tahun ini. Pemicu utama adalah fenomena Labubu. Boneka ini, yang didesain oleh seniman kelahiran Hong Kong Kasing Lung, telah menjadi incaran para selebritas dunia. Sebut saja bintang pop Amerika Rihanna, penyanyi dan aktris Inggris-Albania Dua Lipa, hingga Lisa dari girlband Korea Selatan Blackpink, semuanya terlihat mengoleksi dan memuji Labubu di media sosial mereka. Bahkan, bintang sepak bola Inggris David Beckham pada Mei lalu membagikan foto Labubu miliknya yang ditempel di tas di Instagram.
Labubu sendiri adalah figur menyerupai kelinci dengan ciri khas telinga runcing, gigi bergerigi, dan senyum nakal. Popularitasnya bahkan sampai memicu kericuhan di toko-toko. Setelah Pop Mart meluncurkan boneka edisi ketiga pada bulan April, perkelahian sempat pecah di salah satu toko di London di antara para penggemar yang berebut untuk mendapatkan boneka seharga 18,30 dolar AS per buah.
Menariknya, di tengah permintaan yang tak terpuaskan untuk Labubu, bank investasi Deutsche Bank dan Morgan Stanley secara signifikan menaikkan target harga mereka untuk saham Pop Mart. Deutsche Bank, misalnya, menaikkan targetnya sebesar 52 persen menjadi 303 dolar Hong Kong, mengutip momentum pertumbuhan luar negeri perusahaan yang kuat.
“Jarang bagi sebuah IP [kekayaan intelektual] komik/mainan untuk menembus tembok budaya dan diterima oleh budaya Asia serta bintang pop dan bintang olahraga Barat arus utama,” tulis analis Deutsche Bank, Jessie Xu, dalam catatan penelitiannya.
Masa Depan Pop Mart: Antara Optimisme dan Tantangan
Meskipun sukses besar, seorang perwakilan Pop Mart menyatakan perusahaan tidak berkomentar tentang harga sahamnya. Di sisi lain, tidak semua pihak yakin kesuksesan ini bisa bertahan lama.
“Secara keseluruhan, kami melihat saham Pop Mart dinilai terlalu tinggi dari perspektif jangka panjang,” kata Jeff Zhang, analis ekuitas yang berbasis di Hong Kong di Morningstar. “Meskipun IP teratas seperti Labubu telah mempertahankan pertumbuhan penjualan yang kuat, kami pikir risiko bisnis jangka panjang tetap tinggi, karena daya tarik konsumen dapat beralih ke IP pesaing,” tambahnya.
Kenny Ng, seorang ahli strategi sekuritas di Everbright Securities International yang berbasis di Hong Kong, mengatakan bahwa pertumbuhan jangka panjang Pop Mart sangat bergantung pada kemampuan para desainer mereka untuk terus menciptakan produk yang laku di pasaran. “Saham sekarang agak mahal,” katanya, merujuk pada valuasi perusahaan yang mencapai HK$365 miliar dan diperdagangkan lebih dari 50 kali lipat dari perkiraan pendapatannya untuk tahun 2025.
Namun, data penjualan Pop Mart tetap menjanjikan. Perusahaan melaporkan penjualan selama tiga bulan pertama tahun ini tumbuh sebanyak 170 persen dari tahun ke tahun. Mereka juga memperkirakan penjualan setahun penuh bisa tumbuh lebih dari 50 persen dari tahun ke tahun menjadi lebih dari 20 miliar yuan pada tahun 2025. Tahun lalu, pendapatan mereka melonjak 107 persen menjadi 13 miliar yuan, sementara laba bersih melonjak lebih dari 180 persen menjadi 3,1 miliar yuan.
Labubu Seukuran Manusia Pecahkan Rekor Lelang!
Fenomena Labubu tidak berhenti di toko ritel. Sebuah balai lelang di Beijing berhasil menjual figur Labubu seukuran manusia seharga 150 ribu dolar AS atau sekitar Rp2,4 miliar (dengan kurs Rp16.300 per dolar AS). Harga fantastis ini mencetak rekor baru untuk mainan tersebut, menegaskan tren Labubu sebagai barang koleksi yang sangat dicari.
Acara lelang yang diselenggarakan oleh Yongle International Auction, yang sebelumnya fokus pada seni modern dan perhiasan, menandai lelang pertama yang didedikasikan khusus untuk Labubu. Lelang tersebut menawarkan 48 lot dan dihadiri langsung oleh sekitar 200 orang, sementara lebih dari seribu penawar mengajukan tawaran melalui aplikasi seluler Yongle.
Total keseluruhan barang yang dilelang berhasil mengumpulkan 3,73 juta yuan. Barang terlaris adalah patung Labubu berwarna hijau mint setinggi 131 cm (4,3 kaki) yang terjual seharga 1,08 juta yuan. Juru lelang menyebutkan bahwa patung ini adalah satu-satunya di dunia.
Tak kalah fantastis, satu set tiga patung Labubu berbahan PVC setinggi sekitar 40 cm terjual seharga 510.000 yuan. Set yang dinamakan “Three Wise Labubu” ini hanya diproduksi sebanyak 120 set pada tahun 2017, dan salah satu setnya terjual seharga HKD 203.200 atau sekitar 25.889,64 dolar AS pada lelang Sotheby’s di Hong Kong.
Labubu, yang diciptakan oleh seniman dan ilustrator Hong Kong Kasing Lung satu dekade lalu, mulai dipasarkan melalui Pop Mart pada tahun 2019. Pop Mart dikenal dengan praktik penjualan patung koleksi dalam “kotak buta”, di mana pembeli tidak tahu persis desain apa yang akan mereka terima hingga membuka kemasannya. Harga awal mainan kotak buta Labubu di toko Pop Mart adalah sekitar 50 yuan.
Kisah sukses Wang Ning dan Pop Mart menunjukkan bagaimana sebuah mainan bisa bertransformasi menjadi fenomena budaya global dan aset investasi yang bernilai. Apakah fenomena Labubu akan terus bertahan, ataukah akan ada “IP” lain yang siap menggantikannya? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. (Sumber:Suara.com)