1TULAH.COM-Delegasi Republik Indonesia (DELRI) baru-baru ini menjalani sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait isu hak anak.
Dalam kesempatan tersebut, sejumlah persoalan krusial mengemuka, termasuk praktik dispensasi usia nikah anak, dugaan sterilisasi paksa anak disabilitas, kondisi anak WNI di kamp pengungsi Suriah, serta kesenjangan layanan publik di wilayah timur Indonesia.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Munafrizal Manan, memberikan penjelasan terkait praktik dispensasi usia pernikahan. Ia mengakui bahwa dispensasi diberikan untuk usia 17-18 tahun. Namun, Munafrizal tidak merinci jumlah dispensasi yang telah dikabulkan maupun alasan di baliknya.
Menanggapi jawaban DELRI, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), Daniel Awigra, menyarankan agar delegasi Indonesia lebih terbuka untuk menerima masukan dari para ahli hak anak di komite PBB. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi akar permasalahan dan menemukan solusi yang lebih efektif dengan perspektif hak asasi manusia.
“Cara bersidang seperti ini terkesan DELRI hanya bertahan dan berdalih, belum bisa memaksimalkan momentum ini sebagai titik balik untuk memperbaiki setiap kebijakan dan program yang menyangkut anak-anak dengan menggunakan perspektif dan pendekatan hak asasi manusia,” kritik Daniel di Jakarta.
Isu lain yang menjadi sorotan dalam sidang tersebut adalah dugaan praktik sterilisasi paksa terhadap anak-anak disabilitas. Pemerintah Indonesia memilih untuk menekankan “komitmen inklusi” tanpa memberikan sanggahan atau konfirmasi terhadap informasi yang beredar.
Ketika Komite PBB menanyakan mengenai kondisi sekitar 400 anak WNI yang berada di kamp pengungsi Suriah, jawaban pemerintah menyebutkan bahwa proses repatriasi masih dalam tahap kajian. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai langkah konkret dan waktu yang dibutuhkan untuk memulangkan anak-anak tersebut.
Persoalan kesenjangan layanan publik di kawasan timur Indonesia, khususnya Papua, NTT, dan daerah 3T lainnya, juga menjadi perhatian. Meskipun pemerintah menyampaikan adanya inisiatif konsultasi daring (telemedicine) dan pengiriman dokter, mereka dinilai gagal menjelaskan mengapa anak-anak di wilayah tersebut masih tertinggal jauh dalam akses pendidikan, gizi, dan kesehatan.
Sidang terkait isu hak anak ini akan dilanjutkan pada hari kedua, yang dijadwalkan pada 15 September 2025. Diharapkan, pada sesi berikutnya, DELRI dapat memberikan jawaban yang lebih komprehensif dan menunjukkan langkah nyata dalam mengatasi berbagai persoalan perlindungan anak di Indonesia.
Update Keracunan Makanan Bergizi Gratis di Bogor:
Di sisi lain, perkembangan terkini dari Kota Bogor melaporkan bahwa kondisi siswa yang menjalani perawatan akibat dugaan keracunan makanan bergizi gratis berangsur membaik. Wali Kota Bogor, Dedie A Rachim, menyampaikan bahwa saat ini terdapat 12 siswa yang masih dirawat di beberapa rumah sakit di Kota Bogor.
Jumlah korban keracunan makanan bergizi gratis di Kota Bogor terus bertambah menjadi 213 orang, yang terdiri dari siswa dan guru di 6 sekolah. Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor bersama Badan Gizi Nasional (BGN) memastikan penanganan kasus ini terus berjalan, termasuk penyelidikan terhadap dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang diduga menjadi sumber keracunan.
Pemkot Bogor telah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk kasus keracunan ini. Dedie A Rachim memastikan bahwa seluruh biaya medis korban akan ditanggung oleh Pemkot Bogor. (Sumber:Suara.com)