1TULAH.COM-Sore yang cerah di sebuah lapangan kecil di Semail, Sewon, Bantul, berubah menjadi sunyi saat Aminudin, seorang pemuda dengan disabilitas mental, mendekat. Anak-anak yang tadinya riang bermain bola mendadak berhenti dan berlarian menjauh, diteriaki oleh seorang ibu, “Awas, jangan dekat-dekat! Ada orang gila!”
Aminudin, dengan tatapan kosong dan pakaian lusuh, hanya bisa terdiam. Ia ingin bermain, tetapi dunia seolah menolaknya. Kisahnya adalah potret buram diskriminasi dan stigma yang dialami penyandang disabilitas di Indonesia, khususnya dalam mengakses pendidikan.
Ditolak Sekolah, Ditinggalkan Negara
Lahir dengan disabilitas mental dan tumbuh dalam keluarga miskin, Aminudin sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) pada tahun 2008. Namun, kurang dari setahun, ia dikeluarkan dengan alasan “percuma sekolah, sudah tidak ada harapan.”
Tanpa pendidikan, tanpa perawatan medis yang layak, Aminudin semakin terpinggirkan. Kehilangan sang ayah menambah beban hidupnya, dan ia menjadi sasaran ketakutan warga. Cap “orang gila” melekat padanya, hingga ia sempat dibawa paksa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia, Sleman.
Data yang Memprihatinkan
Kisah Aminudin hanyalah satu dari sekian banyak kasus diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di Indonesia. Menurut data UNICEF 2021, diperkirakan ada 425.000 hingga 2 juta anak penyandang disabilitas di Indonesia. Namun, data yang akurat masih menjadi tantangan.
Di sektor pendidikan, data menunjukkan kesenjangan yang mencolok. Tiga dari 10 anak penyandang disabilitas tidak pernah sekolah, dan hanya 5,48% yang masih bersekolah. Anak-anak di pedesaan dan dari keluarga miskin memiliki peluang lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan.
Minimnya Akses dan Stigma
Minimnya jumlah sekolah inklusif dan SLB, serta keterbatasan sumber daya guru, menjadi hambatan utama. Stigma negatif dari masyarakat juga menjadi faktor penghambat, menyebabkan perundungan dan kekerasan di sekolah.
“Situasi ini menjadikan anak sering kali mengalami penolakan atau tidak mendapatkan layanan pendidikan yang optimal,” ujar Irmaningsih Pudyastuti dari SAPDA.
Rekomendasi untuk Perubahan
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu:
- Menyediakan informasi yang komprehensif tentang sekolah khusus dan inklusif.
- Memastikan sekolah memberikan pemahaman inklusifitas kepada seluruh warga sekolah.
- Mengembangkan program pemantauan dan skrining perkembangan berbasis sekolah.
- Meminimalisir situasi kerentanan anak penyandang disabilitas dalam pendidikan.
Pendidikan yang setara adalah hak setiap anak, termasuk penyandang disabilitas. Sudah saatnya kita mengubah paradigma dan menciptakan lingkungan yang inklusif bagi semua. (Sumber:Suara.com)