Oleh: Munawar Khalil
Kisruh penyelenggaraan kompetisi Sepak Bola Liga 3 Zona Kalimantan Tengah yang terus bergulir terindikasi memantik perseteruan dua kelompok politik berpengaruh. Tentu saja ini terkait dengan jadwal kick off dan penyelenggaraan yang harusnya dilaksanakan di Muara Teweh, namun tiba-tiba distop oleh Asosiasi Provinsi (ASPROV) PSSI Kalimantan Tengah, dan berujung pemindahan lokasi pelaksanaan menjadi di kota Palangkaraya. Kemudian terakhir dibatalkannya penyelenggaraan Liga 3 ini secara permanen baik itu di Muara Teweh maupun di Palangkaraya.
Diskursus inipun menjadi semakin runyam begitu beberapa klub peserta Liga 3 yang sudah terdaftar mulai berdatangan di kota Muara Teweh karena jadwal dan tempat memang sudah disepakati dan dikuatkan oleh surat-surat keputusan yang bahkan sudah divalidasi sendiri oleh Asprov PSSI Kalimantan Tengah di waktu sebelumnya.
Beberapa klub yang sudah mendarat di Muara Teweh menyatakan sangat kecewa dengan berubahnya jadwal dan tempat penyelenggaraan. Bahkan mereka menuntut ganti rugi baik materil maupun imateril terkait pembatalan tersebut. Tidak tanggung-tanggung Bupati Barito Utara Nadalsyah, sebagai calon tuan rumah yang juga Ketua Umum Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia (ASBWI) ikut meradang dan akan menempuh jalur hukum jika penyelenggaraan Liga 3 dibatalkan penyelenggaraanya di Muara Teweh.
Ketika penyelenggaraan kompetisi ini dipastikan gagal dan batal terlaksana, ada beberapa perspektif maupun analisa kenapa ambiguitas tempat pelaksanaan ini terjadi. Pertama, manajemen kesiapan yang diklaim oleh kedua belah pihak, sehingga koordinasi tidak berjalan dengan baik. Kedua, adanya kekuatan maupun kepentingan politik yang mewarnai penyelenggaraan ini sejak awal.
Sejak olimpiade pertama dunia oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang dilaksanakan pada tahun 1896 di Athena Yunani. Gerakan Olimpiade (Olympic Movement) mencanangkan bahwa olimpiade mengemban misi untuk menyebarluaskan isme, sebuah idealisme yang mengandung pesan perdamaian, kebebasan dan persaudaraan sebagai landasan tatanan dunia baru, termasuk membina manusia menuju kesempurnaan.
Kemudian terakhir di kota Tokyo Jepang tahun 2021, kita sebenarnya sangat sulit memisahkan betapa linier dan berkaitnya antara olahraga dengan kepentingan politik, dan itu sah-sah saja. Apalagi jika berkaca kepada penentuan tuan rumah atau tempat penyelenggaraan. Setiap calon tuan rumah tentu akan berupaya agar ditetapkan menjadi penyelenggara dengan alasan dampak ikutan utama yaitu; ekonomi, prestasi, dan eksistensi.
Olahraga sebenarnya adalah salah satu komoditi atau aset berharga suatu negara atau daerah. Persoalan utama dalam sistem pembinaan olahraga adalah kurang seriusnya pembinaan olahraga itu sendiri. Pola pengembangan olahraga masih bersifat gradual, ekslusif, tak lebih dari rutinitas sebagai bagian ritual menjalankan program yang berorientasi pada pencapaian eksistensi penggeraknya secara instan berdasarkan pengalaman masa lalu yang jauh dari sifat mampu berinovasi.
Berpijak dari beberapa fakta tersebut, upaya untuk mengembalikan kejayaan olahraga, dengan penekanan utama pada pergeseran paradigma pembinaan, olahraga harusnya tidak sekadar berorientasi pada pencapaian medali dan eksistensi. Kedua faktor tersebut sekedar konsekuensi logis saja dari pembinaan olahraga yang tertata dan terintegrasi dalam sistem dan manajemen yang baik. Namun tak kalah penting, tentu bagaimana kompetisi olahraga mampu menciptakan character building dari masyarakat di daerah tempat di mana kompetisi tersebut diselenggarakan. Tampaknya hal inilah yang mau di challenge pada perhelatan Liga 3 Sepak Bola Kalimantan Tengah ini oleh dua kekuatan politik tersebut.
Ada dua komponen tarik menarik ini. Pertama, ketika politik ditarik ke dalam ranah olah raga. Dan kedua, ketika olah raga ditarik ke ranah politik. Kita tentu sepakat kepada hal pertama. Artinya politik ditarik ke dalam kepentingan kemajuan olah raga, sehingga berbagai sumber daya politik murni ikut serta mensukseskan sebuah gelaran maupun prestasi olah raga. Kebalikannya adalah tarikan kedua, ketika olah raga ditarik ke dalam kepentingan politik. Nah ke mana arah tarik menarik ini kita fokuskan pada kisruh kompetisi Liga 3 ini memerlukan analisa lebih dalam tentunya.
Seperti kita ketahui, faktor tarik menarik kedua lazim terjadi pada ajang kompetisi olah raga di Indonesia. Sangat berbeda dengan di luar sana ketika anggaran untuk membiayai suatu ajang olah raga dominan di dukung oleh pihak swasta atau sponsor. Maka di Indonesia kebalikannya, anggaran mayoritas dibiayai oleh pemerintah baik itu hibah APBN mapun APBD. Hal ini berpengaruh besar kepada prestasi olah raga jika kualitas penyelenggaranya tadi dominan terpengaruh oleh kepentingan politik. Apalagi juga sangat umum jika beberapa pengurus olah raga di Indonesia bukan murni dari penggerak olah raga, melainkan rata-rata adalah pengurus partai dan politikus.
Tentu masih lekat dalam ingatan kita bagaimana ketika La Nyalla Mattalitti menjadi Ketua Umum PSSI, beberapa pemain U-19 kaos timnas nya bergambar Prabowo Subianto. Kemudian beberapa Pilkada juga ikut menyumbang wacana serupa ketika Ketua Askot Bandung terpilih sebagai Wakil Walikota Bandung, ia terpilih karena pengaruh Viking dan Bobotoh. Termasuk bagaimana anaknya H. Umuh Muchtar terpilih menjadi Bupati Sumedang. Itu bukan karena partai Demokratnya, tapi karena Bobotoh fanatiknya yang bermetamorfosa dan bergerak secara militan.
Penyelenggaraan turnamen-turnamen olah raga yang stagnan ketika pandemi Covid-19 menyerang, tentu mengakibatkan pergerakan prestasi olah raga juga tertahan dan cenderung menurun. Ditambah ketika proses egosentris dan kepentingan politik ikut mencampurinya tentu ini akan membuat olah raga dan pelaku olah raga (atlit) semakin terpuruk. Sarana prasarana yang terimbas akibat tidak ada tambahan, pemeliharaan, apalagi pembangunan, menjadi terakumulasi ketika konflik politik ini mengemuka.
Dalam perkembangan peta perpolitikan daerah seperti Kalimantan Tengah, olah raga tidak akan pernah lepas dari intervensi politik, apakah intervensi itu pastinya akan menimbulkan dampak kemajuan atau bahkan kemunduran dalam bidang olahraga. Karena manajemen sistem politik juga akan ikut memengaruhi model pembinaan institusi yang menanganinya, karena jika dalam pembinaan yang dilakukan oleh institusi yang ditunjuk salah atau setidaknya tidak tepat, maka pengaruh perkembangan olahraga tentu tidak akan memperoleh prestasi yang maksimal, bahkan bisa saja menuju kepada kemerosotan prestasi. Dan dapat kita pastikan tentu olahraga lah yang menjadi korban sebagaimana dibatalkannya kompetisi Liga 3 Sepak Bola ini.
Di lain titik kita juga mahfum, bahwa perhelatan pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah serentak pada 2024 adalah sasaran akhir yang warming up nya tentu saja sudah dimulai sejak saat ini, sehingga diskursus antar cheersleaders tentu juga akan ikut meramaikan (baca; memanasi) jagat media sosial sebagai akibat dari adanya kepentingan masing-masing kubu.(*)
Artikel merupakan tanggungjawab penulis.