Memiliki buah hati menjadi keinginan semua orang tua. Selain mendatangkan rejeki, anak juga sumber kebahagiaan. Hal itu juga dirasakan Supriadie (42), warga Kota Muara Teweh yang bahagia telah dikaruniai 2 orang anak. Namun satu dari dua anaknya terlahir anak berkebutuhan khusus.
Kedua anak Supri, bernama Muhammad Rezky Alfie (12) dan Echa Salsabila (4). Anak pertamanya inilah yang memiliki kebutuhan khusus.
Supriadie, yang bekerja sebagi Satpam di SMAN 1 Muara Teweh, masih ingat saat anaknya Muhammad Rezeky Alfie, berumur dua tahun, dan baru bisa berjalan. Kata orang tua zaman dulu, perkembangan anak laki-laki biasanya memang lebih lambat. Tapi, sebagai seorang ayah, Supriadie merasakan hal lain. Ada yang berbeda dengan buah hatinya.
Semakin lama, tumbuh kembang anaknya, semakin menunjukkan perbedaan dengan anak seumurannya. Bahkan, ketika umur 5 tahun masuk sekolah TK Paud Setia, perilaku Rezky menunjukkan sikap lain dari anak-anak disekitarnya, yakni tidak bisa duduk diam serta kadang-berceloteh tidak jelas. Anaknya, jug tidak bisa bersosialisasi dengan teman-temannya.
Curiga karena ada yang ganjil terhadap anaknya, Supriadie meminta kepada pihak sekolah untuk memberikan terapi terhadap anaknya. Ternyata hasilnya mengejutkan, anaknya divonis sebagai penyandang Hyperaktif dan juga Autis.
“Saat mendengar itu penjelasan dari sekolah tentang anak saya, pikiran saya berkecamuk. Beragam pertanyaan dan rasa bersalah semua ada. Tapi tak bisa apa-apa selain hanya pasrah dan menerima,” ujar Supriadie ketika kepada 1tulah.com.
Kabar itu begitu meruntuhkan mental lelakinya saat itu. Beragam pertanyaan tak henti ada dipikiran. Apa yang telah saya perbuat? Kenapa Tuhan memberikan cobaan seberat? dan apa saya sedang dikutuk?
Kondisi saat itu semakin tak menentu. Apalagi, pada saat bersamaan, anak keduanya Echa Salsabila (4) lahir.
Hal yang bisa dilakukan Supriadie dan istrinya Linawati, iklas dan tak henti memanjatkan doa kepada Allah agar diberikan segala kemudahan membesarkan anak-anaknya.
Karena kondisi itulah, Supriadie dan istirnya tidak boleh terus bersedih. Rezky harus mendapatkan pendampingan khusus oleh dia dan juga istrinya. Langkah pertama yang dilakukan Supriadie adalah mempersiapkan diri.
Kemudian yang harus dia ubah adalah mengubah mindset. Bahwa anaknya tidak bisa diperlakukan sama dengan anak-anak normal lainnya. Baru setelah itu, dia mempersiapkan orang-orang terdekatnya. Terutama orang tua dan saudara-saudaranya.
“Saya akan merasa sangat berdosa jika tidak mempersiapkan anak ini dengan baik karena saya tidak bisa menemaninya selamanya. Kalau saya tidak ada, setidaknya dia sudah bisa mandiri dan tidak menyusahkan orang lain,’’ ujar Supriadie.
Sejak saat itu, Supriadie tidak pernah meninggalkan Rezky. Hanya saat bekerja dia menyerahkannya kepada istri dan juga keluarganya.
“Disamping kesibukan saya sebagai Satpam di SMAN 1 Muara Teweh, saya selalu menyempatkan waktu saya untuk memperhatikan Rezky,” terangnya.
Memasuki kelas I SD, perilaku Angga semakin sulit dikendalikan. Pengobatan dan terapi kesana kemari tidak mengubahnya menjadi lebih baik. Tidak banyak perubahan yang terjadi. Keputusan besar pun harus diambil, Supriadie memilih menyekolahkan anaknya di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 1 Muara Teweh, dengan harapan agar anaknya kelak bisa sembuh dan menjadi anak yang berguna bagi negara dan masyarakat. Keputusan yang diambil itupun, didukung istri dan keluarganya.
Awalnya Supriadie sempat takut jika penghasilan dari satu orang saja tidak cukup memenuhi kebutuhan obat Rezky. Namun, sang istri terus meyakinkannya. Hingga akhirnya, keputusan itu diambil juga.
“Alhamdulillah semua mendukung saya untuk melanjutkan pendidikan Rezky ke SLBN 1 Muara Teweh,” imbuhnya.
Bekerja sebagai Satpam dengan gaji yang tidak terlalu besar, Supriadie mencurahkan sepenuhnya kasih sayang dan perhatian kepada Rezky. Bahkan, dia selalu tepat waktu menjemput Rezky pulang dari sekolah.
“Sekarang saya sudah bekerja sebagai Satpam d SMAN 1 Muara Teweh sudah hampir 10 tahun, dan saya sebagai tulang punggung keluarga. Biasanya Rezky pulang sekolah pukul sembilan, saya selalu tepat waktu untuk mengambilnya di sekolah,” ujar Suprie panjang lebar menceritakan pengalamannya membesarkan anak berktbutuhan khusus.
Ketika itu, hanya satu yang diyakini pria yang lahir tanggal 15 Januari 1979, tersebut yakni kasih sayang orangtua, disamping peran ibu, ayah pun memilik andil besar dalam pembentukan kepribadian anaknya, dan itu merupakan modal utama kesembuhan sang anak.
Dia beranggapan nasib anak tidak ditentukan dari seberapa banyak terapi dan obat-obatan mahal yang dia terima. Tapi dia. harus bisa menerima keadaan anaknya dulu.
“Saya bertekad Angga harus sembuh di tangan saya, bukan karena orang lain,’’ tegasnya.
Satu per satu perilaku Rezky mulai diperbaiki. Untuk berbicara, misalnya. Rezky sebenarnya bisa diajak berbicara, tapi pembicaraannya tidak terarah dan asal bunyi. Dan kalau hyperaktifnya muncul dia harus dibujuk secara perlahan.
“Dia ini hyperaktif dan ada autis juga, jadi kalau ngomong susah dihentikan, dan juga geraknya terlalu aktif, biasanya saya bersama istri selalu membujuknya dengan penuh kasih sayang,” ungkapnya.
Sekarang Muhammad Rezeky Alfie sudah kelas 2 SD dan banyak mengalami perubahan semenjak sekolah di SLBN 1 Muara Teweh.
“Alhamdulillah sekarang Rezky sudah mulai bisa diam, tidak seperti dulu lagi waktu masih TK maupun SD kelas 1,” tutup Suupriadie.
Kepala sekolah SLBN 1 Muara Teweh Bambang Sutiarto melalui guru kelas Arief Budi Rahman membenarkan bahwa sekarang Rezky sudah mengalami perubahan yang cukup baik.
“Iya dulu memang waktu dia kelas 1, sangat tidak terkendali, bahkan kami terpaksa harus melakukan terapi duduk, tapi sekarang Alhamdulillah dia sudah bisa duduk diam dan tidak terlalu banyak berceloteh seperti dulu lagi,” timpal Arief. (Deni Hariadi)